Jika berbicara tentang keindahan alam dan kesejukan kota, maka Bandung adalah kota itu. Kota kembang ini memiliki bahasa daerah yang sangat terkenal yaitu bahasa sunda dan juga memiliki banyak tempat wisata.
Sejarah Kota Bandung bermula dari Legenda Sangkuriang yang menceritakan bagaimana terbentuknya danau Bandung dan Gunung Tangkuban Perahu. Air dari danau Bandung menurut legenda, mulai mengering karena mengalir melalui sebuah gua yang bernama Sanghyang Tikoro. Situ Aksan merupakan daerah terakhir dari sisa-sisa Danau Bandung yang telah kering. Pada tahun 1970-an masih merupakan danau tempat pariwisata, hingga saat ini sudah menjadi daerah perumahan untuk permukiman. (sumber : http://disdik.jabarprov.go.id/)
Asal muasal nama “Bandung”
Sedangkan, terdapat beberapa versi munculnya kata “Bandung” yang kini dijuluki juga sebagai Parijs Van Java. Bandung berasal dari kata bendung atau bendungan karena terbendungnya sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu yang lalu membentuk telaga. Adapun legenda yang menceritakan “Bandung” diambil dari sebuah kendaraan air yang terdiri dari dua perahu yang diikat berdampingan yang disebut perahu bandung. Perahu ini digunakan oleh Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II, untuk melayari Citarum dalam mencari tempat kedudukan kabupaten yang baru untuk menggantikan ibukota yang lama di Dayeuhkolot.
Ada juga sejarah kata “bandung” dalam bahasa Indonesia, identik dengan kata “banding” berarti berdampingan.
Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Sedangkan, berdasarkan filosofi Sunda, kata “bandung” berasal dari kalimat “Nga-Bandung-an Banda Indung,” yang merupakan kalimat sakral dan luhur karena mengandung nilai ajaran Sunda. Kata Bandung mempunyai nilai filosofis sebagai alam tempat segala makhluk hidup maupun benda mati yang lahir dan tinggal di Ibu Pertiwi yang keberadaanya disaksikan oleh yang Maha Kuasa.(sumber : http://disdik.jabarprov.go.id/)
Julukan Kota Bandung
Selain sejarah mengenai Kota Bandung, kota ini juga memiliki beberapa julukan yang biasanya disebut oleh masyarakat. Pertama yaitu dengan julukan Kota Kembang. Istilah kota kembang berasal dari peristiwa yang terjadi tahun 1896 saat Pengurus Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula, Bestuur van de Vereninging van Suikerplanters yang berkedudukan di Surabaya memilih Bandung sebagai tempat penyelenggaraan kongresnya yang pertama.
Tuan Jacob mendapat masukan dari Meneer Schenk agar menyediakan ‘kembang-kembang’ berupa “noni cantik” Indo-Belanda dari wilayah perkebunan Pasir Malang untuk menghibur para pengusaha gula tersebut.
Kongres tersebut dikatakan sukses besar. Dari mulut peserta kongres itu kemudian keluar istilah dalam bahasa Belanda De Bloem der Indische Bergsteden atau ‘bunganya’ kota pegunungan di Hindia Belanda. Dari situ muncul julukan kota Bandung sebagai kota kembang.
Adapun Kota Bandung dijuluki Parisj Van Java. Pada buku Otobiografi Entin Supriatin, berjudul Deritapun Dapat Ditaklukan, disebutkan Bandung dikenal dengan sebutan Parijs Van Java atau Paris-nya Pulau Jawa. Istilah Parijs van Java muncul karena pada waktu itu di Jalan Braga, terdapat banyak toko yang menjual barang-barang produksi Paris, terutama toko pakaian. Toko yang terkenal diantaranya adalah toko mode dan pakaian, Modemagazinj ‘au bon Marche’ yang menjual gaun wanita mode Paris.
Selain itu, terdapat restoran makanan khas Paris Maison Bogerijen yang menjadi tempat santap para pejabat dan pengusaha Hindia Belanda atau Eropa. Muncullah julukan lain bagi kota Bandung sebagai Parijs van Java.
Sebutan Bandung Lautan Api juga sering disebut-sebut sebagai julukan untuk Kota Bandung. Pada Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan. Bandung sengaja dibakar oleh Tentara Republik Indonesia (TRI) dan rakyat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi.
Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembakaran itu. Almarhum Jenderal Besar A.H Nasution teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi Bandoeng Laoetan Api.
Fasilitas Unggulan
- Kantin
- Book Store
- Social Room
- Fasilitas Keagamaan
- Fasilitas untuk Minoritas
Fasilitas Disabilitas
- Buddy
- Layanan Konseling
- Friendly User Interface
- Sistem Pembelajaran
- Peta Akses Disabilitas